Powered By :

WHAT'S NEW?
Loading...

ANAK JALANAN



Oleh : Kafabih

Tiiittt… tiiittt… breemm… breemm…
Bising ocehan klakson dan dentuman knalpot mengusik ketenangan telinga diantara gemericik hujan sore itu di sebuah perempatan jalan. Budi bocah ingusan terlihat merenung menanti nasib diantara tangisan mendung yang tanpa henti. Ia sandarkan tubuh mungilnya pada kokohnya tiang beton jalan tol seraya menahan rasa dingin yang menusuk tulang, serta hembusan angin yang membawa bulir-bulir air hujan. bertemankan setumpuk koran yang ia jajakan di depannya.
Ia memang tak seberuntung dengan anak-anak seusianya yang bebas bermain. Sedangkan ia harus merelakan masa-masa kecilnya di jalanan yang penuh dengan kebisingan, polusi, kekerasan, kesemerawutan jalanan ibu kota. Yang semestinya ia bisa menghabiskan masa kecilnya di dalam naungan rumah yang penuh dengan kebahagiaan dan kehangatan keluarga. Sayang, dia terlahir dari orang tua hanya seorang pemulung. Tempat tinggal yang seharusnya bisa menaungi dari segala apa yang ada, hanyalah gubuk reot beratapkan kokohnya jalan tol dan berdindingkan kardus-kardus bekas. Tempat ia beristirahat jika rasa lelah menghampiri, juga tempat berteduh dari rintikan air hujan dan sengatan panasnya sang mentari.
****  
Sore itu ia terlihat nampak lesu, karena seharian hujan turun tak henti-henti. Koran-koran yang ia jajakan sepi pembeli. Orang lalu lalang hanya meliriknay saja, atau sekedar memberikan senyum sinis. Tapi ia tetap bertahan dalam barisan jajaran koran yang ia susun rapi, sambil menanti ada orang yang mau membeli korannya.
“Koran koran koran…..”
“Korannya pak… buk…”
Dari segerombolan orang yang baru saja turun dari bus, nampak satu dari mereka sedikit tertarik dengan dagangan bocah tersebut, lalu menghampiri dan memilah-milih koran yng cocok denga seleranya. Dengan perasaan amat senang, ia melayani pembeli itu dengan tenang dan muka ceria, karena dari siang tadi belum ada satupun korannya yang terjual. Namun sayang, pembeli itu tampak tak menemukan koran yang cocok dengan seleranya, hingga berlalu dengan meninggalkan rasa kecewa yang nampak pada raut wajah Budi.
“Ah sudahlah… mungkin belum rejekinya” gerutunya di dalam hati
Waktu terus berjalan dan sudah hampir 3 jam si Budi menjajakan korannya, kurang lebih ada 5 koran yang laku terjual. Menjelang maghrib hujan pun seakan enggan berhenti dari tangisnya, si Budi nampak sedang sibuk menghitung beberapa lembar uang yang sudah nampak lusuh dan sedikit basah terkena air hujan.
“Alhamdulillah ya Allah”. Ucapnya seraya mengangkat kedua tangan lalu diusapkan ke wajah.
“Semoga cukup untuk tambahan biaya sekolah ku Ya Allah”
Dialah si Budi, bocah kecil yang punya semangat kerja keras yang membara meskipun harus berbasah-basahan oleh rintik hujan dan dingin yang menusuk tulang. Setiap hari selepas pulang sekolah dia selalu mengais rezeki di bawah kolong tol di suatu perempatan jalan. Ya, meskipun dia hidup bergelut dengan kemiskinan, ia tetap harus bisa duduk di bangku sekolah. Dia saat itu masih duduk di bangku kelas 5 sebuah Sekolah Dasar dekat dengan rumah reotnya.
***

Selepas isya’ ia pulang dengan membawa beberapa lembar uang dan sisa korannya. Ia tapaki jalan berkerikil di sepanjang rel kereta api dibawah naungan cahaya merah lampu kota. Setengah jam ia habiskan untuk pulang dengan jalan kaki. Sesampai di rumah ia tak lupa mempersiapkan buku-buku untuk esok hari dan mengerjakan PR meski dengan mata sayup-sayup dan badan capek. Hingga seringkali ia tidur berselimut buku-buku yang masih berserakan di dipan tempat ia belajar. Hingga kokok ayam yang membangunkannya dari mimpi indah semalam. Mimpi yang selalu menghantui setiap kali malam datang. Ya, mimpi menjadi seorang pengajar anak jalanan dan mendirikan sebuah taman belajar untuk anak jalanan. Selaras dengan cita-citanya yang selama ini memenuhi otaknya. Demi meningkatkan kwalitas pendidikan anak-anak jalanan demi menyongsong era globalisasi. Cita-cita yang begitu sederhana namun sangat mulia dari seorang anak jalanan seperti Budi. Dan keadaan Budi saat ini sangat bertolak belakang dengan UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1 yang berbunyi bahwa “gepeng dan anak - anak jalanan dipelihara atau diberdayakan oleh Negara yang dilaksanakan oleh pemerintah”. Namun kita patut bersyukur masih ada sekelumit dari anak bangsa yang prihatin dan iba melihat generasi bangsa yang jauh dari cita-cita bangsa. Dengan mendirikan taman belajar untuk anak-anak jalanan meskipun tanpa sokongan dana dari pemerintah. Semoga cita-cita bangsa kita dapat terlaksana.

0 komentar:

Posting Komentar