KASIH TAK SAMPAI
http://jokosun.blogspot.co.id/2012_02_01_archive.html
Oleh : Kafabih
Hujan turun lagi dan membasahi semua yang ada di bumi, tak terkecuali
susunan genting rumahku juga tak luput oleh sapuannya. Hingga lama-kelamaan
kumpulan bulir-bulir air itu mengalir melewati atap-atap dan akhirnya memenuhi
talang sampai nantinya jatuh ke bumi. Dari balik jendela kamar ku yang disetiap
sudut dindingnya penuh dengan foto tentang mu. Aku sendiri terpaku menatap
tetesan air yang jatuh dibalik daun-daun pepohonan sekitar rumah. Hembusan
angin yang menerobos dari balik jendela membuat perasaanku menjadi sejuk dan
bahagia. Laksana memandang raut wajah manismu dari balik jendela kelas saat
kita masih duduk dibangku SMA. Saat-saat yang tak mungkin bisa kulupakan hingga
saat ini. Lesung pipi yang nampak saat kau tersenyum menambah aku kian larut dalam
lamunan yang tak pernah kualami sebelumnya. Hidungmu yang sedikit pesek tak
membuat aura kecantikanmu hilang olehnya, namun itu yang menjadikan ciri khas
darimu selain lesung pipi yang kau miliki.
Hingga pada akhirnya lamunanku buyar oleh tetesan air yang menerobos
disela-sela genting yang bocor karena hujan yang semakin deras, dan tepat
mendarat di pipiku.
“Ah… sial, belum sempat aku menghayal tentang mu lebih jauh, kau sudah
menyadarkanku darinya, dasar kau hujan. Kau yang membawa aku akan hanyalan
tentangnya, dan kau juga yang menyudahinya.” Gerutuku sambil mengusap pipi
yang basah oleh air hujan seraya menghadap pada cermin yang tertempel di sudut
tembok kamar.
Sudah cukup lama aku tidak menghayal tentang mu, Gita. Dan kali ini hujan
membawaku akan hadirnya dirimu, dan itu cukup membuat rasa kangen ku tumbuh
bersemi seperti saat lalu. Saat kita sedang duduk berdua di bawah pohon
beringin sambil memandangi air telaga yang tenang. Dan jari-jari lentikmu
menari-nari pada senar gitar kesayanganmu, dan menyanyikan lagu kesukaan kita
berdua. Serta hembusan angin yang sepoi-sepoi kian membuat romantis. Sudah 7
tahun kita tak bertemu semenjak kita lulus SMA, namun rasa cinta yang tersimpan
didalam hati paling dalam masih terjaga dengan baik. Dan seutas gelang
pemberianmu masih kupakai dan kujaga hingga saat ini. Namun aku masih berfikir,
apakah perasaanmu masih sama denganku ?? Sebuah tanda tanya besar yang
menghantui dan menjadi racun akan kematian cinta kita. Aku sendiri sudah lepas
kontak cukup lama semenjak kau telah ganti nomor telepon.
Handphoneku yang penuh dengan foto-foto kenangan saat itu, tiba-tiba
berdering oleh sebuah pesan masuk. Kuambil lalu kubaca, ternyata temanku Gilang
memberiku sebuah nomor telepon milik Gita. Ya, karena memang beberapa hari yang
lalu aku sengaja meminta Gilang untuk mencarikan nomornya, dan baru hari ini
mendapatkannya. Ah, alangkah bahagianya diriku serasa mendapati
bidadari-bidadari syurga yang turun di kamarku. Segera ku telepon nomor itu
tanpa pikir panjang.
Dan …..
“Tuuut… tuuut… tuuut…” Teleponku tersambung, namun tidak ada
jawaban. Akupun tak patah arang dan kutelepon lagi seraya harap-harap cemas.
“Tuuut… tuuut… tuuut…” Nada yang sama yang muncul, dan akupun tak
patah arang untuk kedua kalinya. Hingga akhirnya muncul suara “Silakah
tinggalkan pesan setelah nada berikut”
“Gita sayang… apakah masih kau ingat dengan suara ini ? suara yang
begitu dekat dengan telingamu. Saat kita dahulu sering melepas rasa rindu lewat
telepon genggam dimalam hari, kau sedang asyik berada di dalam kamar, sedang
aku berada di atas genting seraya memandangi wajah bulan purnama seindah raut
wajah mu. Dan pernah suatu hari aku jatuh dari atas genting. Dan masih banyak
lagi kenangan-kenangan yang tak mungkin bisa kulupa Gita,,,, apa kau juga
seperti aku? Jawaban kamu aku tunggu Gita, dan sampai pesan suara ini kukirim
untukmu, aku masih sayang padamu.”
Jarum jam dinding menunjuk pada angka 16.15 WIB, sudah satu jam belum ada
jawaban dari pesan suara yang aku kirim. Suara rintik hujan masih setia
menemani penantianku hingga diriku tak sadar terbawa dalam alam mimpi, dan
lagi-lagi aku bertemu denganmu duduk berdampingan lengkap dengan gaun putih
panjang yang kau kenakan serta jas hitam yang aku kenakan dalam sebuah ruangan
yang penuh dekorasi kebahagiaan. Serta tamu-tamu undangan berpose dibalik
jepretan kamera. Dan kebagaiaan itu tak berlanjut lama, setelah handphoneku
berdering keras di sampingku.
“Hey…. !! Keparat kau, jangan sekali-kali ganggu istri orang, Gita
sudah menjadi milik orang lain saat ini, dan kau jangan bermimpi akan hal itu.”
Tut… tut… tut… sambungan telepon terputus, handphoneku pun jatuh kelantai
hingga terpisah tiga bagian. Bagai tersambar petir disiang bolong. Dan hujanpun
semakin deras, seakan ikut menangisi nasibku yang begitu sial.
“Gitaaaaa…… !!! kau telah mengingkari janji suci kita di bawah pohon
beringin, dan cintamu tak sekokoh akar beringin yang mencengkram bumi, janjimu
palsu bagai buah kedondong yang hanya halus diluar namun menyerabut di dalam. Lidahmu
menusuk dari belakang hingga hanya rasa sakit yang kau berikan. Inikah balasan
yang selama ini kau berikan kepadaku??!! Sedang aku setia menunggumu, setabah
bebatuan kali yang diterjang air banjir. Dan mulai detik ini aku tidak akan
bisa lagi menerimamu, meskipun kau menginginkanku lagi”
Hujan mulai reda hingga haripun diakhiri dengan munculnya senja di ufuk
barat sebagai penutup hari yang penuh kelabu.
*****
Hari-hariku semakin tak berdaya dan tak punya masa depan yang jelas,
hingga aku tak pernah lagi keluar dari kamar terkecuali untuk makan dan ke
kamar mandi. Aku jadi seorang yang menarik diri dari lingkungan dan
teman-temanku. Hingga pada suatu hari pintu kamar diketuk oleh seorang yang tak
kukenal, dan dia bersama Gilang temanku. Dia berparas ayu, sopan dan lemah
lembut. Kacamata frame hitam menambah rupanya menjadi nan cantik. Gaya bahasa yang
lugas dan penuh motivasi serta penyampaian yang menggugah semangat tumbuh
kembali. Seminggu sekali dia selalu datang bersama Gilang sekedar menjenguk dan
memberi motivasi. Terkadang dia ajak aku sekedar cari udara segar diluar rumah,
atau duduk berdua dibawah pohon beringin pinggir kali. Sebuah buku pemberiannya
selalu kubaca menjelang tidur tengah malam. Buku yang berjudul “Me-Manajemen
Hati Untuk Sebuah Kebahagiaan” kian memantapkan hatiku bahwa dia adalah sosok
yang selama ini kucari. Hingga tak kusadari aku mulai ada rasa yang mulai tumbuh
didalam hati.
Waktu terus bergulir, hingga kebahagianpun semakin mantap menuju
pelaminan, dan hal ini sulit aku nalar dengan akal sehatku, betapa tuhan telah
menggantinya dengan sosok yang bernama Dini,
dan kini aku hidup penuh bahagia bersama seorang anak dan istriku yang cantik
jelita.
*****
Hingga pada suatu sore hari saat aku dan keluarga kecilku sedang
menikmati suasana santai sore hari di teras rumah sederhanaku, nampak seseorang
turun dari becak yang dinaikinya, lalu menuju pintu gerbang halaman rumahku.
Aku kian penasaran dan fikiranku kembali mengorek-orek memory yang telah
tertutup oleh bunga-bunga kebahagian keluargaku. Siapakah gerangan wanita itu.
Aku benar-benar amnesia saat itu dan memory ku tak mampu membongkar identitas wanita
itu.
“Silahkan duduk mbak, mau bertemu dengan siapa ya ?” Tanya istriku
dengan nada lembut.
“Betul ini rumah mas Zaenal ?”
“Betul, apa yang bisa kami bantu mbak ?” Tanya istriku lagi.
“Ini ada titipan dari seseorang” sembari mengeluarkan amplop dari
dalam tas hitam yang dia kenakan, lalu wanita itu pergi dan hilang dibalik
pagar. Aku sendiri kian bingung dan penuh tanda tanya besar di otakku. Apa pula
yang dibawa wanita itu, dan meninggalkan sepucuk amplop tanpa meninggalkan
identitas si empunya amplop tersebut. Ah, pikiranku kian kacau dan rancu. Apa gerangan
yang hendak terjadi, dan apa pula isi amplop tersebut seakan penuh misteri. Amplop
kubuka dan jantungku kian berdetak kencang, dan seketika kedua mataku tertuju
pada selembar surat bertuliskan tangan.
“Aku pernah bahagia saat mengenalmu dulu, dan itu tak akan bisa lenyap
dari hatiku paling dalam, dan terukir jelas di dasarnya. Namun aku tidak bisa
menolak pilihan orang tuaku, meski aku tak mencintainya. Dan namamu masih rapat
kusimpan di dalam hati. Kini aku tengah terkapar tak berdaya di rumah sakit
karna ulah tangan besinya, hingga dia mendekam dibalik jeruji besi. Pada
akhirnya aku harus mengalami gegar otak hingga kritis. Surat ini aku tulis
sekuat tenaga setelah melewati masa-masa kritis. Dan untuk kali ini, aku ingin
memandang wajahmu untuk terakhir kalinya, karena dokter momvonis umurku tidak
lama lagi”.
Bagai petir disiang bolong, dan ingatanku mulai pulih dari amnesia
panjang setelah selembar foto dibalik surat nampak begitu menyihir kedua
mataku.
“Apa yang terjadi denganmu Gita…”
Hatiku kian bergejolak tak menentu setelah membaca sepucuk surat dari
Gita. Apa aku harus bergegas ke rumah sakit atau aku tidak perlu menemuinya. Toh
dia juga pernah membuat hatiku terluka. Ah, rasanya aku menjadi manusia yang
paling tidak punya hati jika tak menemuinya.
“Ayo kita bergegas ke rumah sakit” ajak istriku tanpa pikir
panjang.
*****
Bau obat farmasi dan anyir darah langsung menyambut saat kaki melangkah
masuk RSUD Dr. Koesma Tuban. Orang-orang lalu lalang menjenguk keluarganya yang
sakit. Para dokter dan perawat mondar-mandir dari satu ruang ke ruang lain. Aku
mempercepat langkah bergegas menuju ruang kenanga tempat dia dirawat. Tiap ruangan
tak lepas dari pandanganku, hingga langkahku terhenti oleh hospital bed dengan seseorang tertutup kain
putih yang keluar dari ruang kenanga.
“Dia telah kembali dipelukan-Nya” ucap dokter yang kutemui.
Hingga air mataku menetes untuk pertama kalinya. Dan aku belum bisa
memenuhi permintaan terakhirmumu. Selamat jalan Gita, semoga kau bahagia disana.
Bangilan, 14 Februari 2017
ojo tragis2 mono cah
BalasHapusBikin baper bro heheh
BalasHapus