Oleh
: Kafabih
Rintik hujan masih enggan meninggalkan peraduannya
dipagi hari. Udara dingin masih terasa menusuk tulang tengkukku, serta bulu
kudukku serasa berdiri dan pori-pori kulitku membesar karena kedinginan. Namun
aku masih setia duduk di balkon rumah dengan sepucuk surat yang kuterima dari
seseorang yang bersepeda dan berseragam oren hari kamis kemarin. Ya, sepucuk
surat dari ibu yang memberi kabar kepada ku dan adikku tentang rencana
kepulangannya pada minggu depan. Karena sudah 5 tahun aku tidak bertemu
dengannya, semenjak kepergian ayah untuk selamanya karena sakit. Ibu sekarang
yang menjadi tulang punggung keluarga dengan menjadi TKW di negeri orang. Waktu
yang tidak sebentar untuk melepas rindu, keluh kesah dan curhat ku kepada ibu. Keadaan
yang cukup berat ini belum bisa menggoyahkan hati ku untuk bisa menerima
tawaran ibu tentang sosok pria pengganti ayah. Terkadang hati ini juga merasa
kasihan dengan keadaan ibu yang bekerja keras membanting tulang sekedar untuk biaya
sekolah, dan biaya hidup aku dan adikku. Ditambah dengan jarak yang begitu jauh
dan tersekat oleh lautan yang luas.
Tiba-tiba aku terbangun dari lamunanku ketika adikku
minta uang jajan.
“Mbak minta uang jajan dong” rengek adikku.
“Trus ibu pulangnya kapan mbak? kok lama belum sampai
rumah?”
“Ya ditunggu aja lah dik, nanti juga sampai rumah”
jawab ku sambil memberikan uang dua ribuan.
Hari ini aku tidak berangkat sekolah, karena hari
libur. Yang biasanya sudah sibuk membuatkan sarapan untukku sendiri dan adikku,
lantas persiapan pergi sekolah bersama, dengan sepedah ontel yang keranjangnya
mulai berkarat dan berlobang, serta suara kayuhan sepeda yang setia menemaniku.
Ku kayuh sepeda bututku melintasi jalanan setapak yang sejajar disisi rel kereta
api. Serta menerobos rimbunan ilalang yang tumbuh liar disepanjang aliran kali
kening, serta iringan gemericik air kali yang menemani perjalannanku tiap hari.
30 menit waktu yang kubutuhkan untuk sampai di SMA di kota ini. Sedang SDN
tempat adikku belajar tidak jauh dari sekolahku. Kami selalu berangkat dan
pulang bersama.
*******
Pada hari senin sore, aku sedang santai sendirian menonton
televisi hitam putih yang merupakan satu-satunya benda berharga di rumah ini.
Aku terkejut dengan berita tenggelamnya KM. Kuala Sentosa, sebuah kapal yang
mengangkut penumpang dari Malaysia ke pelabuhan tanjung mas Semarang. Kabar
terakhir belum diketahui jumlah korban meninggal dan selamat. Hati ku semakin
tidak nyaman dengan ini, semoga saja tidak ada apa-apa dengan ibu, pikirku. Tetapi
hati ku masih menduga-duga dan rasa penasaran yang dalam. Ku ambil kembali
surat dari ibu yang kusimpan rapi di dalam buku diary ku, lalu kubaca lagi
dengan cermat. Dan benar saja berita yang kulihat itu adalah kapal yang
ditumpangi ibu. Karena ibu menulis lengkap rencana pejalanan pulang, mulai jam,
tanggal dan kapal yang akan ditumpangi ibu. Seketika hatiku serasa hancur
berkeping-keping bagai gelas yang jatuh dari meja. Air mata tak mampu lagi ku
bendung, dan tangispun pecah diatara dinding kayu yang mulai lapuk. Spontan mak
bibit yang bersebelahan dengan rumah ku kaget dan langsung menemui dan
menenangkanku.
“Ada apa nduk kok tiba-tiba nangis?” Tanya mak bibit
kepada ku.
Mak bibit adalah sosok pengganti ibu yang sangat
sayang dan perhatian kepadaku dan adikku.
“La adikmu
kemana?”
“Tadi pergi bermain mak” jawabku sambil sesenggukan.
“La kenapa kamu kok tiba-tiba nangis begini?”
“Sudah jangan cemas dulu, sapa tau itu bukan kapal
yang ditumpangi ibu mu” jawab mak bibit, setelah kujelaskan tentang berita
tadi.
Dua hari sejak berita itu muncul di televisi, hati ku
masih tidak karu-karuan dan sangat cemas. Tiap saat aku terpaku melihat detak
jam dinding di ruang tamu yang mulai pudar angkanya. Kapan ibu sampai rumah,
sambil mengharap-harap cemas tak berkesudahan, serasa hatiku menggantung tak
jelas, rasa cemas bercampur gelisah kian mendera batin.
*******
Lima hari berlalu sejak berita itu, keadaan tetap
seperti kemarin, tak ada kabar atau berita yang melegakan hati ini ataupun
kabar bahagia yang kudapat. Yang ada hanya tetesan air mata dan tatapan layu
pada sebua foto ibu ku yang sudah kusam. Karena memang di desa ku alat
komunikasi masih sangat sulit sekali, jarang-jarang orang yang punya telepon
genggam. Sesekali aku buka lagi sepucuk surat dari ibu sambil berbaring di
kursi panjang ruang tamu. Dan lamunan ku pun mulai muncul, apa benar ibu memang
benar-benar telah tenggelam bersama dengan kapal yang ibu tumpangi dan pergi
untuk selamanya. Lamunan ku kian menjadi-jadi, hingga akhirnya dibuyarkan oleh
suara ramai diluar rumah. Ku tengok dari sudut jendela tanpa kaca, nampak
sebuah mobil putih lengkap dengan tulisan dan lampu sirene. Seketika aku
menjerit keras dan menangis meraung-raung, dan menendang –nendang meja di
depanku, hingga tak terasa foto ibu yang masih kupegang lengkap dengan
framenya, ku lempar hingga pecah berkeping-keping. Sontak mak bibit yang sedari
tadi berada di dapur untuk membuatkan menu makan untukku lekas menghampiriku.
“Ibu sudah meninggal mak”
“Ngomong apa kamu ini nduk” sahut mak bibit
“Itu di depan rumah ada mobil ambulan mak” jawab ku
sambil sesenggukan tak henti.
Mak bibit pun melangkah kedepan dan mengintip dari
balik jendela mobil dengan penuh tanya dan harap-harap cemas, siapakah
sebenarnya yang ada di dalam mobil ini.
“Ya Allah… kamu to Marni, alhamdilillah kamu
baik-baik saja”
Mendengar ucapan mak bibit seketika aku lari dan
memeluk ibu yang masih terpasang infus di tangan kirinya. Bayang-bayang ibu
selama ini telah terpatahkan dengan hadirnya sosok ibu dihadapan ku. Dan
kuhapus semua rasa cemas yang selama ini menghantui batin ku. Hatiku kembali
hidup, fikiran ku tenang dan kubuang jauh-jauh rasa sesak di dada.
*******
Sudah dua hari ini ibu tinggal di rumah, dan aku juga
belum mengetahui kejadian yang menimpa ibu. Saat aku, ibu dan adikku berada
pada ranjang yang sama pada malam yang mulai turun hujan. Dengan nada rendah
kuberanikan diri untuk bertanya tentang hal itu. Dan ibu pun mulai menceritakan
kejadian sebenarnya.
“Bagini nak” ibu mulai bercerita.
Saat itu sedang ada badai dan gelombang tinggi di
lautan, hingga kapal yang ibu tumpangi pecah dan tenggelam. Hingga akhirnya ibu
ikut tenggelam, namun ibu berusaha berjuang melawan kuatnya gelombang dan
ganasnya lautan. Ibu bisa selamat dari tenggelamnya KM. Kuala Sentosa yang
ternyata banyak memakan korban, dengan sebuah jerigen bekas yang mengapung di
dekat ibu serta kepandaian berenang yang ibu peroleh dari mandi tiap hari di
kali kening. Tiga hari tiga malam, ibu terapung bagai seonggok sampah plastik
yang jauh dari segala arah. Waktu yang lama untuk seorang ibu untuk mengapung
dilautan lepas. Sekujur tubuh serasa mati, kulit mulai mengelupas, tenggorokan
serasa terbakar dan perut kosong karna tidak terisi makanan. Tenaga semakin
habis, mata berkunang-kunang, dalam hati ibu tetap yakin ada pertolongan yang
akan datang kepada ibu. Benar saja, dari kejauhan nampak Tim SAR sedang mencari
korban. Ia lambaikan tangan keatas dengan sisa-sisa tenaga yang ada dan
memanggil-manggil dengan suara yang mulai habis, hingga akhirnya Tim SAR pun
dapat menemukan ibu.
Hingga tak terasa aku pun terlelap dalam dekapan
kehangatan kasih sayang seorang ibu yang aku cintai.
*****
0 komentar:
Posting Komentar