Oleh : Kafabih
Dipenghujung akhir tahun 2016
tepatnya tanggal 29 desember, sebuah rencana yang telah tersusun rapi di
pikiranku perlahan mulai kurealisasikan dalam bentuk perjalanan Ngetrip ke
gunung lawu. Pagi itu segala persiapan telah siap semua, mulai dari tas
ransel berisi pakaian secukupnya, jacket hitam, sarung tangan, masker hidung,
helm dan tak lupa motor yang aku jadikan kendaraan sudah ready to go.
Perjalanan kecil yang diharapkan bisa menjelajah ke semua sudut gunung lawu.
Tepat pukul 07.30 WIB aku mulai perjalanan ini dari Bangilan, namun aku tidak
sendiri kali ini, ada 2 orang rekan yang siap menemaniku dan sudah menanti di
perempatan Senori. Dia adalah Luqman dari Jatirogo, dan Burhan dari Soko.
Mereka berdua berboncengan dengan tas ransel di punggung.
Perjalanan pun dimulai dengan
disambut medan jalan tanjakan yang lumayan tinggi. Serta hempasan angin dingin
yang masih terasa sejuk di rongga dada, tak ketinggalan pancaran sinar
kemerahan dari sang mentari mulai menyambut dan memberi energi pada perjalan
kami. Putaran roda dan jarum speedo meter pada motor telah membawa kami
berhenti pada sebuah warung pinggir jalan raya Bojonegoro Ngawi. Kami putuskan
untuk istirahat sejenak sembari mengisi energi, karna dari rumah memeng belum
sarapan.
“Bu, sarapan 2, teh hangat satu dan
kopi hitam satu” pintaku pada ibu penjual.
Aku cuma pesan 2 sarapan saja, karena
Luqman telah sarapan dari rumah sebelumnya. Namun ternyata si ibu pejual
membawa 3 piring sarapan dari belakang. Yah daripada tak termakan terpaksa
disantap juga sama Luqman, hingga dia kekenyangan. Tak lupa satu dua jepretan
dari kamera ponsel aku abadikan moment itu.
Sehabis isi BBM di POM, dan kota
Ngawi pun telah berlalu dengan begitu saja tanpa ada moment yang berarti. GPS
di tangan ku jadikan guru panutan mencari arah jalur yang benar, hingga
akhirnya membawa kami ke arah Paron, Sine, Jamus. Jalur pun sudah mulai
berkelok-kelok bagai ular tangga dan naik turun bak jungkitan. Hingga nampak
pada kami plang arah menuju kebun teh Jamus. Tanpa pikir panjang kita
ambil jalur tersebut yang terus naik ke puncak lawu dengan pemandangan hamparan
kebun teh disisi jalan. Juga kami sempatkan merasakan dinginnya air mancur dan
air terjun yang ada di area kebun teh. Jalur masih terus naik dan
berkelok-kelok dengan hamparan kebun teh nan hijau dimata. Sesekali mata kamera
ponsel tak lupa mengabadikan moment itu. Hingga puncak tertinggi kebun teh
telah kita raih. Di area sekitar puncak kebun teh ternyata terdapat juga pabrik
pengolahan teh peninggalan Belanda, gereja, musholla, dan makam orang belanda.
Suasana sejuk dan aroma kembang untuk nyekar para peziarah pada salah
satu makam sangat kental terasa, namun sayang aku tidak dapat info makam siapa
gerangan.
Waktu sudah semakin siang, namun
udara sejuk tetap menyelimuti, hingga perjalanan kami lanjut ke Karanganyar.
Jalur yang ditempuh pun semakin ganas, namun suasana hijau kiri kanan
dan pemandangan yang begitu memanjakan mata membuat perjalanan yang panjang itu
tak terasa lelah sedikitpun. Sesekali aku berhenti sekedar untuk menikmati
hamparan hijau kebun teh yg luas dan tentunya jepretan kamera ponsel yang tak
boleh ketinggalan. Setelah perjalanan kurang lebih tujuh jam, akhirnya sampai
juga pada persinggahan yaitu di tempat ibu bapak di Kecamatan Jumantono
Kabupaten Karanganyar, yang terkenal akan buah duriannya. Sedikit rasa capek
langsung hilang oleh teh hangat, juga sebagai pengusir rasa dingin khas
pegunungan yang menusuk tulang. Hingga aku terlelap dalam tidur yang indah
sembari mempersiapkan tenaga untuk petualangan esok hari.
Mentari pagi enggan keluar karena
hujan yang lebat. Saat hujan telah reda, petualanganpun dilanjut ke waduk
lalung yang berada di Kabupaten Sukoharjo. Waduk yang begitu luas dengan
ketinggian tanggul sekitar 10 meter dari ruas jalan raya. Suasana asri dan sejuk
begitu terasa ketika naik ke tanggul. Nampak para pemancing bergulat dengan
kailnya untuk memperoleh ikan sebanyak-banyaknya.
Memasuki hari ketiga Ngetrip ke
gunung lawu, perjalanan kami lanjut ke Astana Giri Bangun, yaitu komplek
pemakaman keluarga mantan presiden RI ke dua, bapak Soeharto dan ibu Tien,
serta keluarga. Lokasi yang berada paling tinggi setelah puncak gunung lawu. Ada
tiga pos penjagaan untuk bisa masuk ke lokasi makam, pos pertama kita minta
surat pengantar kunjungan, lalu di pos kedua tanda tangan dan meninggalkan KTP,
lalu pos ke tiga kita dipanggil untuk ditanya apa tujuan ke Astana Giri Bangun ini.
“Bila ingin do’a singkat bisa saya langsung
antar ke dalam ruangan, namun bila tahlil panjang mohon di luar ruangan utama saja”
ucap bapak penjaga pos ke tiga.
“Dan juga, bila menginginkan foto
bisa mengambil gambar di semua tempat, kecuali di dalam ruang utama, nah bila
ingin foto di dalam kami sediakan fotografer” tandasnya
Begitu memasuki ruangan utama, aura kejawen
begitu pekat terasa. Di ruang utama ada 4 makam, yaitu makam bapak Soeharto,
ibu Tien Soeharto, serta makam ayah dan ibu bapak Soeharto. Kijing makam yang
terbuat batu marmer putih dan cokelat dengan kwalitas terbaik begitu nampak
mengkilat dan mewah. Foto-foto almarhum dan almarhumah terpampang di figura
besar, serta beberapa lencana pangkat yang pernah di sandang bapak Soeharto tak
lupa ikut di pajang. Nampak juga lencana logo TNI yang berukuran besar ikut
dipajang, karena memeang bapak Soeharto adalah seorang Jenderal tertinggi pada
masa Orde Lama.
Perjalanan belum berakhir, dan dilanjut
naik terus hampir ke puncak lawu, yaitu di Tawangmangu. Sebuah kota di pucuk
gunung lawu yang tak pernah lepas dari kabut tebal. Dan disana ada sebuah air
terjun yang popular dengan sebutan grojogan sewu. Kesan pertama kita
akan disambut oleh ratusan ekor kera liar yang hidup bebas disana.
“Memang air terjunnya ada seribu?” tanya Burhan.
“Meskipun jika di hitung tidak ada seribu grojogan,
namun ya dinamakan grojogan sewu” jawab ku sambil menuruni anak tangga.
Ketinggian air terjun grojogan
sewu mencapai 81 meter. Sehingga kita perlu turun beberapa puluh meter
dengan menapaki ratusan anak tangga yang terbuat dari batu-batu gunung.
“Kakiku sudah gemetar rasanya, sudah
gak kuat, ayo istirahat dulu disitu” ajak ku pada Burhan dan Luqman.
Tas ransel dan tas selempang yang
penuh menjadi penyebab kakiku gemetar, ditambah medan menuruni ratusan anak
tangga. Karena di setiap sudut ada tempat untuk istirahat, sehingga para
pengunjung yang capek bisa istirahat sebentar dan bisa melanjutkan jika sudah
tidak capek lagi.
Perjuangan yang berat menuruni anak
tangga terbayar semua oleh keindahan air terjun grojogan sewu dan
sejuknya suasana yang masih asri, disekeliling masih banyak tumbuh menjulang
tinggi berbagai jenis pohon berumur ratusan tahun. Semakin mendekat dengan
titik jatuhnya air terjun, semakin terasa hempasan bulir-bulir air yang terbawa
angin. Rasa sejuk pun langsung terasa. Air yang mengalir di sela-sela bebatuan
begitu bening dan dingin serasa es di kutub yang dapat mencairkan rasa lelah
yang tadi sempat menggumpal. Dan petualangan di grojogan sewu kami akhiri
dengan makan bareng di bawah naungan rindangnya pohon-pohon berusia ratusan
tahun.
“Kemana lagi rute selanjutnya? Tanya Luqman
“Lanjut ke Telaga Sarangan” sahut ku.
Kunci kontak aku tancapkan, dan
tombol stater motor pun aku tekan, gas di putar dan motor pun melaju dengan
gagah berani menaiki puncak gunung lawu. Melewati jalan naik turun nan berliku.
Medan yang ternyata lebih berat dari pada jalur waktu berangkat kemarin yang
berada di sebelah utara gunung lawu. Namun sekarang motor ku melaju melewati
sebelah selatan, dan hampir melewati puncak gunung lawu. Pemandangan kiri kanan
pun berbeda dengan kemarin, kalau kemarin di dominasi oleh kebun teh, namun sekarang
tidak. Sepanjang jalan ditumbuhi sayur-sayuran yang segar dan terlihat indah,
seperti kubis, brokoli, kentang, wortel, strobery, dan lain-lain. Villa-villa dan
rumah-rumah penduduk berjejer rapi di setiap sudut.
Rambu penunjuk arah Telaga Sarangan
pun telah nampak, motor pun kupaksa belok mengikutinya, yang sedari tadi ia
enggan berlari kencang karena medan yang begitu berat. Terbayang sudah di
kepala ku akan Speed boat yang ingin kunaiki, dengan ongkos sebesr 60
ribu rupiah kita bisa menikmati telaga sarangan dengan sekali putaran. Habis itu
juga bisa menikmati hidangan dari para penjual sate yang tumbuh subur di
sepanjang pinggir danau bak jamur di musim penghujan.
“Perjalanan Ngetrip ke gunung lawu
kita akhiri disini ya kawan” tandasku.
“Kapan-kapan kita Ngetrip lagi
ya” sahut Burhan.
Perjalanan pulang pun membawa segenggam
oksigen penyambung hidup, dan oleh-oleh kebahagiaan serta persahabatan yang
erat yang tertancap begitu dalam di rongga dada bersama alam gunung lawu.
Sip
BalasHapusayo kapan kita ke mana?
BalasHapusbagus tulisanya
BalasHapusWah, terlalu di besar-besarkan mas...
HapusTulisan ku biasa saja. hee...